Dari Bedah Buku Trilogi Spiritualita Bung Karno 1 : Candradimuka (5)
Kebesaran Soekarno sudah tercium oleh kakek angkatnya saat dia masih tinggal di Ndalem Pokok Wates. Hal yang tak dipercayai bapaknya sendiri waktu itu.
“Titenono bocah iki bakal dadi kembange jagad” begitulah kira-kirakira ungkapan Raden Mas Panji (RMP) Soemoatmodjo atau yang sering disapa Eyang Panji, seperti ditulis Dian Sukarno dalam bukunya.
Kakek angkat soekarno ini sudah memprediksi bahwa anak kecil yang baru berusia tiga tahun di depannya akan menjadi orang besar. Hal yang justru membuat takut Taden Soekeni, ayah kandung Soekarno, pada waktu itu.
Ia tak mengerti tentang makna “kembange jagad” yang dimaksudkan Eyang Panji. Soekeni bahkan sampai berlinangan air mata. Sebab, dia membayangkan bahwa Soekarno kecil bakal menjadi bocah nakal dan durhaka kepada orang tuanya. Apalagi kata-kata itu diucapkan sang kakek, saat Soekarno sedang bandel-bandelnya.
Soekeni pun menanyakan perihalungkapan itu. Namun Eyang Panji hanya tersenyum. Dia lantas mengingatkan agar Soekeni yang saat itu sangat keras dan disiplin lebih berhati-hati. Terutama dalam ‘nggulawentah bocah’ alias mendidik anak.
Prediksi bahwa Koesno yang sudah berubah nama menjadi Soekarno akan menjadi orang besar juga tergambar dari keberanian yang ditunjukkannya disekitar Ndalem Pojok.
Memang, ketia sudah diboyong lagi oleh orang tuanya ke Ploso, Jombang. Soekarno kecil tetap sering di Ndalem Pojok. Terutama setiap liburan sekolah.
Dia pergi ke Wates dari Ploso dengan naik kereta api. Lalu turun di Stasiun Wates untuk kemudian melanjutkan perjalanannya dengan dokar. Kedatangan Soekarno inilah yang selalu dinantikan anak-anak seusianya. Baik dari keluarga Ndalem Pojok maupun anak-anak para abdi dalem dan warga sekitar. Salah satu teman masa kecilnya adalah Nachrowi.
Mereka lalu bermain bersama khas permainan anak desa. Yang paling disukai adalah bermain lumpur di sawah, mandi di sungai dan naik kerbau. Nah soal naik kerbau inilah yang mempunyai cerita sendiri tentang keberanian Soekarno.
Kakek angkatnya, Eyang Panji punya seekor kerbau istimewa yang dinamakan Kiai Buda. Kerbau itu dibiarkan liar, tidak dikandangkan. Konon, warga setempat tidak ada yang berani mendekati kerbau berukuran raksasa itu.
Hanya dua orang yang berani dan bisa menangkapnya. Yakni, kedua putra Eyang Panji. Masing-masing adalah Raden Mas Soemosewojo yang menjadi ayah angkat Soekarno dan adiknya Raden Soeratmo yang kelak menjadi penasihat Kesultanan Ipoh Malaysia.
Bibit-bibit keberanian dan kepemimpinan Soekarno itulah yang membuatnya merasa tertantang untuk menaklukkan kerbau tersebut. Saat itu usia soekarno diperkirakan sekitar sembilan tahun.
Dikisahkan buku ini dengan memahami karakter kerbai liar, Soekarno tidak mengambil posisi frontal alias berhadap-hadapan. Melainkan memilih mendekatinya dari samping. Lalu, sambil membawa rumbut segar, dia mengelus-elus lehernya.
Setelah tidak ada tanda-ta daperlawanan, soekarno pun menaiki punggung Kiai Buda sambil menepuk-nepuknya. Sejak itu, konon Kiai Buda selalu menurut kepadanya dan sering menemani Soekarno ke mana saja.
Biasanya, Soekarno dan beberapa teman termasuk Nachrowi membawanya ke sungai berai jernih di belakang Ndalem Pondok, dekat pohon kepuh raksasa, untuk dimandikan. Itu dilakukan sambil memancing. Yang sering didapat adalah wader, kutuk, belut dan yang lain.
Selain bermain-main di sawah dan sungai, kegemaran lain soekarno setiap pulang ke Pojok, Wates adalah bermain sepak bola. Dia biasa menggunakan halaman Ndalem Pojok yang laus atau tanah lapang di desa. Jika tidak ada bola plastik, karena saat itu masih menjadi barang mewah, mereka bermain dengan jeruk balik.
Selepas sepak bola, anak-anak itu akan duduk melingkar. Soekarno yang menjadi pemimpinnya lantas bercerita tentang banyak hal. Terutama kisah-kisah kepahlawananan dan pewayangan yang sangat dikuasainya.* (Adi Nugroho/ndr/hid/bersambung). Diketik ulang dari Jawa Pos Radar kediri edisi Rabo 10 Juli 2013