Banyak orang yang belum mengetahui bahwa awal mula Bung Karno menggalai Pancasila ternyata berawal dari bumi Kediri. Seperti di ketahui Kediri adalah bumi tua yang penuh dengan sejarah. Awal mula kerajaan Airlangga dan Majapahit pun tidak terlepas dari Bumi Kediri.
Setidaknya ada lima alasan yang menguatkan bahwa awal mula Pancasila digali dari bumi Kediri.
Pertama temuan bahwa awal mula Pancasila digali dari bumi Kediriberdasarkan Pidato setebal 30 halamanan lebih yang disampaikan Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945, jelas dikatakan Pancasila mulai digali sejak tahun 1918—atau ketika usianya sekitar 17 tahun.
Penggalian Pancasila itu mengalami proses panjang–hingga berpuluh tahun, bukan hanya dalam rentang beberapa hari dan bulan–hingga kemungkinan akhirnya disempurnakan di Ende. Bisa jadi hanya momen finalisasi di Ende itulah yang dicatat oleh sejarah.
Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Bung Karno berkata: “Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan…”.
Menurut pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, pernyataan Bung Karno tersebut menjelaskan bahwa Pancasila merupakan hasil suatu proses penggalian penemuan diri sejarah yang merentang panjang, mulai dari periode pembibitan, perumusan, hingga pengesahan.
Alasan kedua terkait lokasi sejarah yang berhubungan dengan pernyataan Bung Karno–yang menyebut Pancasila digali sejak tahun 1918. Pada tahun itu Sukarno belum diasingkan ke Ende.
Bung Karno diasingkan di Ende per tanggal 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938. Pada 28 Desember 1933, Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda De Jonge mengeluarkan surat keputusan pengasingan Sukarno—saat itu 32 tahun—ke Ende. Sukarno diasingkan karena kegiatan politiknya dinilai membahayakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jika merunut pada linimasa pengasingan Sukarno, lalu menghubungkannya dengan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, jelas bahwa awal mula penggalian Pancasila bukan di Ende. Pada tahun 1918, menurut Kushartono, Sukarno muda sering ke Ndalem Pojok, Wates, Kediri.
Pada tahun tersebut dia juga indekos di rumah H.O.S. Cokroaminoto ketika bersekolah di Surabaya. Setiap liburan tiba, Sukarno sering pulang ke Ndalem Pojok. Keterangan ini bisa dibaca di buku Trilogi Spiritualitas Sukarno karya Dian Sukarno. Dalam buku yang diberi pengantar oleh Guruh Soekarnoputra ini juga diceritakan kebiasaan Sukarno muda merenung, ber-tahannuts di bawah pohon kepuh di belakang Ndalem Pojok.
Alasan ketiga berdasarkan silsilah Sukarno, dari jalur nenek ayahnya, Raden Soekeni, silsilah keluarga Bung Karno tersambung hingga Sunan Kalijaga. Istri kakeknya dari jalur ayah, Raden Ayu Nganten Hardjodikromo, adalah putri Tumenggung Haryokusumo bin Pangeran Serang. Sedangkan Pangeran Serang merupakan suami Nyi Ageng Serang. Jika ditarik ke atas, maka nasab Sukarno akan sampai ke Pangeran Wijil, putra Sunan Kalijaga.
Adanya hubungan darah antara Sukarno dengan Sunan Kalijaga ini tampak masuk akal jika mengingat kebiasaan Bung Karno yang suka berkontemplasi mencari inspirasi di bawah pohon kepuh di belakang Ndalem Pojok—sebagaimana disampaikan. Pohon kepuh tersebut berada di pinggir aliran sungai mata air lereng Kelud. Kebiasaan itu seolah mengikuti jejak lampah leluhurnya, Sunan Kalijaga, yang diyakini juga bertapa di kali.
Alasan keempat bahwa Pancasila digali di Kediri adalah makna filosofi pohon kepuh yang ada di Ndalem Pojok. “Puh”, dalam bahasa Jawa berarti “diperas, diproses, guna memperoleh sari pati”. Sementara buah pohon kepuh bernama prana jiwa, yang dalam bahasa Jawa berarti “jiwanya jiwa”.
Jiwanya jiwa bangsa Indonesia, kata Kushartono, ya Pancasila. Maksudnya, Pancasila berperan sebagai nyawa, sumber, pandangan hidup, ideologi, bahkan ciri khusus bangsa Indonesia, di mana Pancasila didapat seiring dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sehingga mampu membedakan antara ciri khas bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya.
Dengan demikian, dapat dijabarkan bahwa maksud “Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia” memiliki arti bahwa “setiap aktivitas, perbuatan, tindakan, serta pemikiran seluruh individu di Indonesia beradasarkan dan berpedomankan kepada Pancasila”. Makna ini sama dengan makna prana jiwa, buah pohon kepuh. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia memiliki arti bahwa Pancasila berfungsi membimbing bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalamnya.
Alasan kelima adalah melihat dari sudut pandang ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani. Buah pohon kepuh yang bernama prana jiwa mengandung zat alami anti-hayawan. Biasanya buah ini dibuat untuk pelengkap jamasan pusaka. Orang yang duduk berlama-lama di bawah pohon kepuh akan merasa nyaman karena tidak akan ada nyamuk atau ular yang mengganggu—sehingga orang itu bisa tenang, nyaman, fokus dan khusyuk. Suasana psikologis itulah yang dirasakan Sukarno ketika berkontemplasi di bawah pohon kepuh, hingga akhirnya muncullah inspirasi untuk menggali Pancasila.
Temuan Pancasila digali dari bumi Kediri ini diamini oleh Soenarto, Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayan Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia yang juga mantan Rektor Universitas Bung Karno. Kata Soenarto, Bung Karno memang pernah bermunajat kepada Allah SWT. di bawah pohon kepuh di belakang Ndalem Pojok.
“Ya, benar. Sudah pasti Bung Karno di bawah pohon kepuh mesu budi, bermunajat kepada Allah Ta’ala, merenung untuk Indonesia merdeka dari berbagai aspek, termasuk aspek dasar dan ideologi untuk Indonesia merdeka kelak. Di bawah pohon kepuh sakral itulah sinar wahyu Ilahi mulai menyinari, mengilhami Bung Karno untuk jati diri Bangsa Indonesia Pancasila,” kata Soenarto.* Salam