Dari Bedah Buku Trilogi Spiritualitas Bung Karno 1: Candradimuka (7)
Peran R.M. Soemosewojo, ayah angkat soekarno, cukup besar dalam perkembangan sang proklamator RI tersebut. Karena itu, keluarga Soekarno sangat menghormati keluarga Ndalem Pojok.
Setelah menikah dengan ibu kosnya, Inggit Gamasth, Soekamo semakin sering ke Ndalem Pojok bersama sang istri. Itu dilakukan ketika jadwal perkuliahannya di Technishee Hooge Scholl (THS) Bandung sedang senggang.
Dikisahkan Dian Sukarno dalam bukunya dengan pembawaannya yang ramah dan pandai menyesuaikan diri, Inggit segera mendapat tempat tersendiri ditengah-tengah keluarga Ndalem Pojok. Apalagi inggit yang cantik itu tidak segan bergabung dengan ibu-ibu di dapur untuk menyuapkan hidangan bagi para suami.
Di Ndalem Pojok itulah Inggit mendapatkan tambahan bekal ilmu ngadi sarira (perawatan tubuh) dari kita pengobatan tradisional R.M.P. Soemohatmodjo (Eyang Panji).
Lewat pengetahuan dan kitab tersebut ditambah pengetahuan dan almarhum ayahnya, Ardjipan, lnggit semakin terampil untuk membuat bedak dingin dan jamu kecantikan untuk perempuan. Produk buatan tangannya itulah yang kemudlan dijual untuk tambahan bekal hidupnya bersama Bung Karno. Konon, kitab tersebut tak pernah dikembalikan lagi ke Ndalem Pojok. Setiap Soekarno datang ke sana dan ditanya tentang keberadaan kitab itu, dia selalu berkelit. Terakhir, Soekarno bilang, Wis digawa Landa, Pak.” Sejak itu, R.M. Soemosewojo alias Pak Umo tidak pernah menanyakannya lagi.
Selain menjadi wali nikah Soekarno kala mempersunting Inggit, Pak Umo juga pernah menjenguk anak angkatnya itu saat dijebloskan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Penjara Sukamiskin. Pak Umo mendampingi pula saat Soekarno diadlili di persidangan landraad -yang kemudian melahirkan pleidol yang begitu terkenal, Indonesia Menggugat.
“Menurut Eyang Sajid (R.M. Sajid Soemodihardjo, Red), ayah saya, Pak Umo waktu itu memain-mainkan topinya. Ndak tahu apa karena itu, kok hakim yang memimpin selalu salah sebut nama saksi dan lain sebagainya,” kata RM. Soeharjono, keponakan Pak Umo yang kini tinggal di Ndalern Pojok, seperti ditulis dalam buku karya Dian Sukarno.
Pak Uimo akhirnya meninggal sebelum Bung Karno (BK) dibuang ke Ende setelah bebas dari Penjara Sukamiskin. Meski demikian, bukan berarti keterikatan Bung Karno dan keluarganya kepada Ndalem Pojok putus sepeninggal ayah angkatnya tensebut. Proklamator RI itu tetap sering berkunjung ke sana. Bahkan, setelah menjadi presiden RI. Adik Pak Umo, R.M. Sayid Soemodihardjo, sempat diangkat sebagai kepala rumah tangga kepresidenan kala ibukota RI pindah dan Jakarta ke Jogja.
Inggit Garnasih dan anak angkatnya, Ratna Djoeami, juga tetap sering mengunjungi keluarga Ndalem Pojok di Kediri meski sudah bercerai dengan Soekarno. Demikian pula kakak Soekarno, Soekarmini alias Bu Wardoyo. Anaknya, Sukartini Saroyo, sering mengayuh sepeda pancal dari kediamannya di Ndalem Gebang, Blitar ke Ndalem Pojok, Wates, Kedini.
Megawati, anak sulung Bung Karno, pun kerap berkunjung ke Ndalem Pojok, Wates untuk berziarah ke makam kakeknya, R.M. Soemosewojo. Peran Pak Umo itulah yang diakui oleh Megawati cukup penting dalam masa-masa perjuangan sang ayah. (adi nugroho/hid/bersambung).