Satu Islam, Kediri – Malam menunjukkan pukul 19:00 WIB. Di jalan kecil sebuah Dusun Krapak Desa Pojok Kecamatan Wates Kabupaten Kediri terlihat sekitar 20 pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Ada diantaranya, penjaja jasa mainan anak-anak.
Para pedagang itu berada di bawah pepohonan besar nan rimbun kecuali pohon kantil yang berdiameter sekitar 75 cm. Pohon kantil diselimuti kain kotak-kotak warna hitam dan putih sebagaimana yang ada di perkampungan Hindu. Hanya di bawah pohon itulah pedagang tidak diperkenankan menggelar dagangan.
Malam itu tepatnya hari Selasa, 18 Agustus 2015. Di tempat itu sedang digelar tarian Jawa. Di lokasi seluas 1 hektare itu terdapat rumah tua berukuran 40 X 80 meter, berarsitektur khas rumah joglo.
“Kalau aslinya dulu gedek (anyaman bambu), karena termakan usia akhirnya dirombak. Pintunya dahulu dari gedek, kemudian diganti oleh Bung Karno dengan pintu jati sekitar tahun 1920-an,” kata R. Koeshartono, Ketua Situs Bung Karno kepada kontributor ABI Press.
Rumah itu telah menjadi tempat bersejarah. Di rumah yang diberi nama Ndalem Pojok, pada masa kecilnya Bung Karno berada di situ. Diceritakan rumah itu dibangun oleh RM Soemohadmojo seorang laskar Diponegoro. Soemohadmodjo memiliki putra bernama RM Soemosewojo yang juga kerabat RM Soekemi Sosrodihardjo, ayah Soekarno.
Soekarno kecil bernama Koesno Sosrodihardjo. Karena sakit-sakitan, Koesno dibawa ayahnya untuk berobat. Soemosewojo tidak memiliki putra dan juga tidak menikah. Dia bersedia mengobati Koesno dengan dua syarat yakni namanya harus diganti dan mau diambil menjadi anak angkat.
“Syarat itu disetujui oleh RM Soekemi yang kemudian mengganti nama anaknya menjadi Soekarno sekaligus menjadi anak angkat RM Soemosewojo saat berusia dua tahun,” ungkap Koeshartono, disela-sela acara peringatan HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia itu.
Mestinya, Ndalem Pojok tercatat dalam sejarah nasional, karena menjadi saksi peristiwa penting kehidupan Bung Karno. “Di sinilah, ritual dengan adat Jawa untuk mengganti nama Koesno menjadi Soekarno dilaksanakan. Setelah itu, Soekarno kecil sempat bermukim di kamar bagian depan, sebelah timur, sejak usia 2 hingga 5 tahun. Di rumah ini, Soekarno diasuh RM Soemosewojo, ayah angkatnya,”ujar Koeshartono.
Bale-bale rumah itu didominasi foto dan kartun Bung Karno. Terdapat dua kamar yang pernah ditempati sang Proklamator. Kamar di sebelah barat tempat Bung Karno ketika pulang liburan kuliah di ITB Bandung. Di kamar sebelah timur, Bung Karno kecil sering bermukim.
Rumah itu kini dibuat semacam museum kecil oleh keluarga dan diberi nama “Situs Bung Karno Kediri”. Di dalamnya tersimpan artefak-artefak yang terkait dengan Soekarno. Di dalam etalase di antara dua kamar terdapat keris yang digunakan Bung Karno saat pecahnya pemberontakan PKI Madiun.
Di dinding sebelah barat, beberapa copy piagam penghargaan dari luar dan dalam negeri untuk Bung Karno digantungkan, di sebelah selatannya berdiri 5 buah tombak. Di tengah ruangan ada etalase, persisnya di belakang patung Ganesha yang dipergunakan untuk menyimpan pusaka keris.
Beberapa pengunjung tampak hilir mudik melihat-lihat benda-benda yang ada di dalam rumah itu. “Pengunjung yang datang ke situs Bung Karno tiap hari berkisar antara 20 sampai 30 orang, itu kalau hari-hari biasa,” kata Sikan, pengurus rumah Situs Bung Karno.
Situs Bung Karno selama tiga hari menggelar hajatan besar dari tanggal 17 hingga 19 Agustus 2015 untuk memperingati HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia, karena keluarga Ndalem tidak mau menyebutnya sebagai HUT Kemerdekaan RI.
“Republik indonesia berdiri tanggal 18 Agustus 1945, jadi peringatan 17 Agustus itu merupakan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ini pesan Bung Karno kepada keluarga Ndalem,” kata Sikan beralasan.
Di situs itu juga digelar upacara detik-detik Proklamasi yang diikuti 300-an orang, terdapat pula doa lintas agama, berbagai pagelaran seni Jawa serta pembacaan syair oleh para budayawan.
Koeshartono mengatakan, digelarnya doa lintas agama itu demi untuk menumbuhkan semangat keberagaman yang akhir-akhir ini terancam oleh sekelompok orang yang memaksakan kehendak dengan mengusung isu Khilafah.
“Bagi saya Pancasila itu harga mati. Karena Pancasila lah keragaman mendapat tempat di Indonesia. Tak sepakat dengan Pancasila, keluar dulu dari Indonesia. Jika setuju, balik lagi ke Indonesia, dan jika tak setuju tinggalkan Indonesia. Mudah kan?” kata Koeshartono.
Di tempat itu para seniman dan budayawan Kediri dan sekitarnya kerap menggelar acara. Tepatnya di sebelah timur Ndalem, di sebuah sanggar seni seluas 15 meter persegi yang didanai oleh keluarga Ndalem sendiri dibantu para donatur.
Menempati bagian barat Ndalem, di tempat itu dibangun pula mushalla dengan arsitektur Jawa-Hindu. Ahli waris Ndalem Pojok terakhir, RM Kusumo Haryono yang selama ini menempati rumah bersejarah itu baru saja menutup mata, Senin 9 Februari 2015 lalu. Saudara angkat Bung Karno itu wafat dalam usia 76 tahun.
Sumber: Ahlulbaitindonesia