bloggerkediri.org Melestarikan peninggalan pahlawan dan leluhur dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggelar pementasan teater dan mengenal serta mengenang jasa pahlawan, di tempat masa lalu para pahlawan dan leluhur. Inilah yang dilakukan teater merah putih di dalem Pojok, Wates, Kediri Minggu (27/9) lalu.
Dalem Pojok Wates – Minggu sore (27 September 2014), sekitar seratus lebih partisipan dan pelestari budaya berkumpul di sanggar seni yang bersebelahan dengan dalem bung karno (Presiden pertama Republik Indonesia,red), desa Pojok Wates, dengan menampilkan teater dan drama. Acara ini bertujuan untuk membangun serta melestarikan budaya dan seni, terutama kesenian kediri. Serta membentuk karakter bangsa dengan mengenal dan mengenang lebih dalam siapa Bung Karno.
Acara ini digelar dengan tata panggung dan tempat yang sederhana. Mulai dari backdrop, tempat penonton, hingga alat musik. Acara yang dimulai sekitar pukul 15.00 WIB ini, berlangsung sangat hikmat. Mulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya, sambutan dari panitia, serta pembacaan puisi dan teater. Pengunjung dan partisipan kegiatan ini, berdiri dan bersikap sempurna saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian salah satu dari panitia juga membawakan UUD 1945. Diteruskan dengan pembacaan puisi dari Pak Nono, pengurus dalem pojok wates, dan pemain teater.
Menjiwai : pembacaan puisi oleh salah satu pengurus dalem pojok
Pemain teater kemarin berasal dari beberapa desa di lereng Kelud. Seperti Ngancar dan Sugih waras. Mereka membawakan dua teater. Yang pertama teater kontemporer. Dalam teater ini mereka menyampaikan pesan yang berisi “hidup itu bermain-main, tapi jangan sekali-kali bermain-main dengan hidup”. Pelaku seni tersebut menjiwai tiap peran, gerak tubuh, serta vokal yang mereka perankan dalam teater kemarin.
Pesan Moral : Hidup itu Bermain-main, tapi jangan pernah bermain-main dengan hidup
Kemudian, mereka menampilkan drama yang berjudul Tikungan Tajam. Drama ini bertemakaan KEADILAN. Dari alur cerita dan penokahannya pun juga terkesan sederhana. Mereka memerankan tokoh-tokoh yang berasal dari pedesaan. Sindiran untuk pemerintahpun juga mereka ungkapkan. Mulai dari keadilan dan ketidak tanggung jawaban oknum pemerintah. Kesederhanaan juga terlihat sebelum mereka melakoni drama tersebut. Setting panggung yang berasal dari kursi dan meja kayu, sapu, dan background gedheg (anyaman bambu untuk dinding rumah) yang tidak terpakai. Ini menunjukkan betapa sederhanya mereka. Namun terlepas dari itu semua, mereka tetap khikmat dan meresapi tiap karakter pada drama dan teater yang mereka bawakan.
tikungan tajam : drama tentang keadilan
Salah satu pengurus dalem pojok berharap kedepannya dalem pojok ini dapat digunakan sebagai tempat pendidikan. “nggeh mugi-mugi benjang, dalem pojok niki saget damel tempat belajar lan pendidikane lare-lare. sanes tempat wisata. saumpami dados tempat wisata, nggeh tempat wisata sejarah,” ujar pengurus dalem pojok wates tersebut. Pak Nono seorang aktivis budaya dan kesenian di Kediri juga berharap agar semua pemuda tetap melestarikan budaya dan warisan yang ada. “Generasi penerus kita, seharusnya tetap menjaga kelestarian budaya seperti situs dalem wates pojok ini,” ujar pria yang senang menggunakan topi saat tampil di beberapa acara seni tersebut. Ia juga menambahkan, kurangnya kesadaran dan pengenalan terhadap pahlawan juga dapat meruntuhkan kebangsaan. “Masak kemarin saya tanya kepada anak SMA, siapa Pak Soekarno itu dia jawab tidak tahu,” katanya sambil tertawa.
Acara kemarin ditutup dengan sarasehan dan foto bersama parsipan serta pemain musik dan teater. Setelah itu mereka berbondong-bondong menuju rumah kuno yang dulunya ditempati oleh Bung Karno saat beliau masih kecil. Pengunjung diberi kesempatan untuk melihat-lihat kamar dan barang-barang peninggalan Bung Karno seperti keris dan buku-buku miliknya. (uy/BK)