Hari Kartini selalu diperingati dengan menggelar “lomba” berbusana Jawa, bolehlah demi melestarikan adat budaya Jawa. Tapi berdandan cantik, berbusana indah apalagi harus pergi ke salon tentu hanya mampu dilakukan oleh orang-orang berduit. Lalu bagaimana dengan wanita-wanita miskin?
Sesunghnya ditengah cerianya wajah-wajah cantik berbaju kebaya, disela senyumnya wajah bermake up indah, sesungguhnya di Hari Kartini yang bersejarah ini ada wanita-wanita miskin yang hidupnya masih memilukan. Boro-boro berdandan dan memakai baju indah, makan saja masih sudah. Adakah kita sadar bahwa diseliling kita masih ada wanita-wanita dhu’afa seperti itu.
Semangat hidup Kartini adalah mengangkat derajat kaum wanita. Memberantas tembok-tembok kesenjangan sosial, kesenjangan derajat, ekonomi dan pendidikan. Bukan malah menyuburkan kesenjangnan itu. Dan inilah penyakit yang paling kita takuti di zaman modern ini.
Kegotong-royongan hancur-timbul sifat individual-individual, rasa sosial luntur-lahir rasa material-meterialis. Kesenjangan ekonomi bertambah tinggi, yang kaya makin menjadi yang miskin begitu jua. Jika sudah demikian secara tidak langsung telah lahir “kasta-kasta” baru dikehidupan ini.
Kita kita mau menengok sejarah, semangat perjuangan Kartini itu adalah memikirkan nasib orang lain, bukan nasib sendiri, menjebol tembok-tembok batas kesenjangan sosial, ekonomi dan pendididkan. Maka RA Kartini berjuang mambangun sebuah sekolah rakyat secara gratis, yang kala itu sekolah hanya bisa didapat oleh kalangan elite. Sebagai darah bangsawan Kartini pun tak mau disebut Ndoro, tapi minta dipanggil Kartini saja.
Sekarang bisakah kita berbaju indah, sementara disekeliling kita masih banyak wanita-wanita yang masih memakai baju compang camping. Mampukah kita berdandan molek, sementara di samping kita masih banyak wanita-wanita yang gembel yang mungkin selama hidupnya tak bernah bersolek. Tegakah kita bersenyum sepulang bermake up, sementara di sekeliling kita tak sedikit wanita-wanita yang susah mencari makan.
Apakah seperti ini jiwa Kartini…..Semangat jiwa Kartini itu memikirkan nasib orang lain, bukan sibuk sibuk bersolek diri. Maka jika memperingati hari Kartini hanya dengan berdandan ala budaya Jawa, sesungguhnya itu bukan “budaya” Kartini. Mestinya harus juga berusaha memikirkan nasib wanita-wanita miskin, minimal bagaimana dia bisa ikut berdandan dan ikut memperingati hari Kartini. Karena bisa berdandan itu adalah dambaan semua wanita. Mestinya Hari Kartini bukan hanya milik orang-orang mampu tapi juga milik semua wanita Indonesia.* Kushartono