“TITENANA, bocah iki dadhi kembange jagat! Ingat-ingatlah, anak ini akan jadi bunga dunia,” ucap Raden Mas Panji Sumohatmojo sambil mengusap kepala seorang bocah ganteng yang sedang melahap singkong bakar kesukaannya. ‘Sabda yang disampaikan kedua kali setelah yang pertama saat pergantian nama Koesno menjadi Soekarno kirasan tahun 1904.
Bocah tangkas pemberani itu, bermata candramawa. Sebutan khas orang Jawa untuk kucing belang telon (berwarna tiga di bagian tubuhnya), yang diyakini memiliki kemampuan supranatural. RMP Sumohatmojo adalah ayah Raden Mas Sumosuwoyo yang kelak jadi orangtua angkat bocah candramawa.
Kakek sakti mandraguna Sumohatmojo, sejatinya bertalian darah dengan si bocah sampai pada Ki Ageng Pamanahan. Sumohatmojo melalui Panembahan Senopati, raja Mataram pertama. Sedang bocah candramawa, bertalian darah dengan Pangeran Harya Mangkubumi.
Empat dekade sejak pertemuan sederhana itu, nubuat Sumohatmojo memang terbukti. Bocah candramawa berubah jadi sosok fenomenal yang dikagumi dunia, sebagai Sukarno.
Ia menjelma jadi pujaan jutaan manusia. Suaranya menggelegar-menohok kolonialisme dan kapitalisme. Kepercayaan dirinya membuncah ke seantero Asia-Afrika. Soviet dan Tiongkok menaruh harapan besar padanya.
Wajah dunia seketika berubah. Sukarno tampil di barisan terdepan menantang Amerika. Menampar wajah Paman Sam dengan Pancasila yang ia sampaikan dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa ke XV, pada Jumat, 30 September 1960.
Di hadapan para pembesar negara-bangsa yang hadir di gedung PBB itu, Sukarno menyampaikan pidato sepanjang 47 halaman, berjudul “To Build the World Anew: Membangun Tatanan Dunia Baru”. Pidato itu sarat tenaga perlawanan.
Pidato itu seolah mewakili suara jutaan manusia tertindas dari negerinya, bangsa Asia, dan juga Afrika. Pidato yang tak berteletele dan langsung menusuk jantung peradaban manusia pada paragraf keempatnya.
Mata para hadirin yang sebagian besar adalah presiden dari negara Eropa dan tentu Amerika, sontak kena colok oleh kobaran semangat yang ia gelorakan. Saat itu, bahkan hingga kini, belum pernah ada lagi singa podium yang sanggup memaksa para penentu dunia mendengar suaranya yang menggelegar, dan meminta mereka melaksanakan manifesto yang ia bacakan. Ia seolah mengejewantah jadi pemimpin tunggal dunia.
Tidak salah ‘ramalan’ yang disampaikan oleh R.M.P. Soehatmodjo. Sukarno ditunjuk Allah untuk mengajari insan abad ini, arti penting sebuah kebangsaan yang tak melulu Indonesia, tapi bangsa manusia. Ia seolah menjelma “nabi” zaman baru. Di bahunya dititipkan masa depan banyak manusia. Hanya padanya seorang. Dalam rangkaian hidupnya tersemat kebesaran dan kemuliaan. Harumnya menyebar ke seantero penjuru angin–bahkan hingga hari ini.* Ren Moch/Salam