situsbungkarno.com— Kisah tragis Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda sering disebut sebagai salah satu bab paling kelam dalam sejarah Nusantara. Namun, benarkah kisah itu benar-benar terjadi? Ataukah sekadar cerita yang direkayasa oleh pihak penjajah?
Peristiwa yang konon terjadi pada tahun 1357 M, di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, disebut bermula dari rencana pernikahan sang raja dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Namun, menurut kisah yang banyak beredar, rombongan Sunda yang datang ke Majapahit justru disambut dengan penghinaan. Mahapatih Gajah Mada menuntut agar sang putri diserahkan sebagai tanda takluk, bukan sebagai calon permaisuri. Penolakan dari pihak Sunda pun memicu konflik bersenjata di Pesanggrahan Bubat. Raja Linggabuana gugur bersama hampir seluruh pengiringnya, dan Dyah Pitaloka disebut memilih bunuh diri (puputan).
Namun cerita ini ditentang oleh sejumlah sejarawan.
“Menurut almarhum Kyai Agus Sunyoto, Perang Bubat itu hanyalah dongeng palsu yang dibuat oleh pihak kolonial Belanda untuk mendiskreditkan Gajah Mada. Beliau pernah menyampaikan hal ini secara langsung kepada saya,” ujar Kushartono, Ketua Harian Situs Persada Soekarno Kediri.
Kushartono menambahkan, Kyai Agus pernah berkunjung dan menginap di Situs Persada Soekarno. Dalam kesempatan itu, sang sejarawan menyampaikan analisisnya bahwa penjajah sengaja menciptakan narasi seperti Perang Bubat untuk menghapus tokoh-tokoh besar yang bisa menjadi simbol kebangkitan nasional.
“Penjajah tidak ingin ada figur-figur pemersatu bangsa yang bisa dibanggakan rakyat. Karena dari kebanggaan itulah bisa muncul semangat perlawanan terhadap kolonialisme,” ujarnya.
Menurutnya, cerita Perang Bubat tidak ditemukan dalam naskah-naskah kuno baik dari Jawa maupun Sunda. Pararaton, Nagarakretagama, hingga berbagai babad dan prasasti asli tidak memuat kisah pembantaian di Bubat. Satu-satunya naskah yang menyebut tragedi ini adalah Kidung Sunda, yang baru diketahui keberadaannya sekitar tahun 1860 — lima abad setelah era Majapahit.
“Berdasarkan keterangan Kyai Agus Sunyoto, cerita Perang Bubat dibuat untuk memecah belah antara etnis Jawa dan Sunda. Padahal kalau Jawa dan Sunda bersatu, Indonesia akan memiliki kekuatan besar,” jelas Kushartono.
Ia mencontohkan, Bung Karno sebagai tokoh besar bangsa berasal dari Jawa, sementara istrinya, Inggit Garnasih, berasal dari Sunda. Perempuan Sunda itulah yang mendampingi perjuangan Soekarno selama 20 tahun — hingga akhirnya Indonesia merdeka.
“Persatuan Jawa-Sunda terbukti mampu melahirkan tokoh besar dan membawa perubahan besar bagi negeri ini,” pungkasnya.* Salam