Istilah “bangsa” dan “negara”, terutama di Indonesia, kerap digunakan secara bergantian, kendati keduanya merupakan dua konsep yang berbeda. Tak jarang keduanya dianggap sama. Akibatnya, terjadi salah kaprah pemaknaan dan penempatan, karena kedua istilah tersebut berbeda—kendati sering beririsan. Lalu, apa beda “bangsa” dan “negara”?
Dikutip dari laman World Atlas, bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki bahasa, sejarah, budaya, dan umumnya wilayah geografis yang sama.
Tidak ada konsensus atau kesepakatan universal mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan suatu bangsa. Namun, secara umum disepakati bahwa suatu bangsa adalah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yang sama, mencakup kesamaan bahasa, agama, sejarah, atau etnis.
Bahkan, ada anggapan bahwa orang tidak harus memiliki etnis, bahasa, atau agama yang sama untuk bisa dianggap sebagai suatu bangsa. Sebuah kelompok masyarakat bisa dianggap sebagai suatu bangsa hanya didasarkan pada nilai-nilai yang disepakati bersama.
Artinya, kehidupan berbangsa dibangun berdasarkan kesepakatan, win-win solution, bukan berdasarkan konstitusi yang sifatnya memaksa.
Sementara negara, mengutip laman Britannica, adalah kumpulan masyarakat yang memiliki lembaga formal pemerintahan, undang-undang, batas wilayah tetap, dan kedaulatan.
Negara dapat dibedakan dari kelompok sosial lainnya berdasarkan tujuannya, hukumnya, wilayah yurisdiksi atau batas geografisnya, serta oleh kedaulatannya.
Negara, secara luas, terdiri dari kesepakatan individu mengenai aturan dan cara penyelesaian perselisihan dalam bentuk undang-undang. Konstitusi atau perundangan itu bersifat memaksa atau mengikat.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, pakar ilmu politik Indonesia Prof. Miriam Budihardjo menyatakan bahwa negara dapat memaksakan kekuasaannya yang sah terhadap semua golongan kekuasaan yang berada di dalamnya, dan dapat menetapkan berbagai tujuan dari kehidupan tersebut.
Sebuah wilayah dapat disebut sebagai sebuah negara bila telah memenuhi berbagai unsur yang diperlukan di dalamnya. Oleh karena itu, negara-negara baru tidak bisa muncul begitu saja. Dan meski sebuah wilayah mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka, tidak lantas bisa menjadi negara yang diakui.
Selain memenuhi persyaratan di atas, sebuah wilayah juga harus mendapat pengakuan internasional untuk bisa menjadi negara berdaulat.
Singkatnya, bangsa bukanlah wilayah administratif, tetapi wilayah psikologi atau budaya. Negaralah yang merupakan wilayah administratif berdasarkan perundangan.
Kehidupan berbangsa berdasarkan kesepakatan, sedangkan kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi atau perundangan yang bersifat memaksa.
Negara Indonesia, sebagai wilayah administratif yang memiliki landasan konstitusi, yang lahir pada 18 Agustus 1945, dibentuk oleh Bangsa Indonesia, yang telah merdeka sehari sebelumnya, 17 Agustus 1945. Dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial.
Dengan demikian, semestinya Negara Indonesia ini melayani kepentingan Bangsa Indonesia, sebagai “ibu” yang melahirkannya. Bukan malah menguasainya, apalagi mengeksploitasinya. Karena Bangsa Indonesia, jika merujuk pada fakta linimasa sejarah, semestinya berada di atas NKRI.
Dan tugas negara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, sebagaimana dengan bernas termaktub dalam “kitab suci” NKRI: Undang-Undang Dasar 1945.* (Sumber: Samudarfakta)