Merdeka.com – Setelah menunggu cukup lama, usul penetapan rumah singgah Presiden pertama RI, Bung Karno di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri menjadi cagar budaya mulai mendapat respon. Pemerintah Kabupaten Kediri tengah mengajukan usul tersebut ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Mojokerto.
Kabag Humas Pemkab Kediri M. Haris Setiawan mengatakan saat ini usul penetapan rumah singgah Bung Karno itu sedang dikaji BPCB. Lembaga tersebut, yang nantinya memutuskan apakah rumah yang sempat dihuni Bung Karno selama tiga tahun pada masa kecilnya ini layak dikategorikan sebagai cagar budaya atau tidak.
Pihaknya tidak bersedia menjelaskan lebih jauh tentang konsekuensi bila rumah tersebut telah ditetapkan menjadi cagar budaya, termasuk apakah pemerintah akan mengambil alih pengelolaannya, seperti Istana Gebang di Blitar yang dibeli dari keluarga Bung Karno.
Seperti diberitakan merdeka.com, Soekarno, tokoh proklamator yang lahir pada 6 Juni 1901 dan meninggal pada 21 Juni 1970 ini ternyata pernah bermukim dan menghabiskan masa kecilnya di Dusun Krapak, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Di Desa Pojok ini pulalah Koesna Sosrodihardjo berganti nama menjadi Soekarno, pergantian nama oleh RM Soemosewoyo ayah angkatnya ini akibat Koesna sering sakit-sakitan
RM Soemosewoyo adalah kerabat ayah Soekarno, RM Soekemi Sosrodihardjo, ia tidak memiliki putra dan juga tidak menikah. Menurut keterangan R Koeshartono, kerabat dari RM Soemosewoyo, bersedia
mengobati Koesno dengan dua syarat yakni namanya harus diganti dan diambil menjadi anak angkat.
“Syarat itu disetujui oleh RM Soekemi yang kemudian mengganti nama anaknya menjadi Soekarno sekaligus menjadi anak angkat RM Soemosewoyo saat berusia dua tahun,” jelas Koeshartono.
Masih menurut R Koeshartono (45), RM Soemosewoyo adalah kakak dari kakek R Koeshartono, Soekarno juga sempat tinggal beberapa lama di rumah RM Soemosewoyo. Kakeknya yang juga ayah angkat Soekarno memiliki kamar di rumahnya ukuran 3 X 4 yang digunakan Soekarno, yakni kamar ketika Soekarno masih balita dan Soekarno dewasa ketika ia singgah menjenguk ayah angkatnya ketika masa perjuangan dan menjabat sebagai presiden.
Rumah RM Soemosewoyo atau yang lebih terkenal dengan nama Ndalem Pojok ini menempati lahan seluas satu hektar lebih beraksitektur khas rumah joglo. “Kalau Aslinya dulu gedek (anyaman bamboo,red), karena termakan usia akhirnya dirombak. Namun ada beberapa bagian yang masih asli dan kita pertahankan hingga sekarang,” tambah Koeshartono.
Sangat disayangkan, foto-foto kenang-kenangan Soekarno sudah tidak ada lagi di rumah yang sangat bersejarah itu. Menurut R Soeharyono (75), cucu keponakan (alm) RM Soemosewoyo diambil oleh militer saat meletus peristiwa pemberontakan PKI.
“Fotonya diambilin sama orangorang Kodim ketika peristiwa G 30 S/PKI, bahkan sebagian ada yang dirusak,” kenang R Soeharyono.
Beberapa saksi akhirnya menguatkan tentang keberadaan Soekarno yang pernah tinggal di ‘Ndalem Pojok’ akhirnya menjadi kata kunci tentang sejarah Soekarno di Ndalem Pojok, selain R Soeharyono dan beberapa orang lain seperti Supini (81), anak Joyo Sar yang pernah menjadi pesuruh dari keluarga RM Soemosewoyo.
“Kalau Bung Karno datang ke Wates, ayah saya yang diminta untuk membakarkan jagung. Sedangkan makanan kesukaannya pecel lele dan sayur meniran,” ungkap Supini.
Beberapa warga lainnya yang pernah menyaksikan Bung Karno datang ke ndalem Wates di antaranya, Suwarsono (83), Suryono (81), Sunarko (80) Sutoyo (82), Misidi (79) serta Suharno (80).
“Biasanya kalau Bung Karno ke Wates kami selalu dikumpulkan untuk menyanyi sorak-sorak sambil tepuk-tepuk tangan. Malahan Bung Karno meminta salah satu dari kami untuk nembang (bernyanyi dalam bahasa) Jawa,” kenang R Soeharyono.