Satu Islam, Kediri – Sejarawan dari dari Oxford University Inggris, Prof Peter Brian Ramsey Carey menggelar diskusi ‘Bung Karno dan Diponegoro Dalam Satu Perbandingan’ di rumah masa kecil Bung Karno (BK) atau dikenal dengan Ndalem Pojok di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Jumat 4 September 2015 malam.
Prof Peter Carey merupakan salah satu peneliti sejarah Perang Diponegoro. Guru besar itu sudah menghabiskan waktunya selama 40 tahun untuk melakukan penelitian Di hadapan aktivis, budayawan, seniman dan beberapa elemen masyarakat Kediri, Peter Carey mengungkap kemiripan dua tokoh besar yang dimiliki Indonesia dari nasib, takdir, dan perjuangan. (Baca: 40 Tahun Peter Carey Meneliti Sejarah Diponegoro)
Keduanya, menurut Carey sama-sama pernah ditangkap pihak lawan. Bung Karno pernah ditangkap Belanda di Maguwo Yogyakarta pada Agresi Militer Belanda II atas perintah Meijer yang kawatnya dikirimkan kepada Van Langen, saat Van Langen di Banaran sebelum masuk Yogyakarta.
“Atas ditangkapnya Soekarno ini, pihak Amerika memberikan kehormatan kepada Belanda. Amerika mengancam jika tak dapat menangkap Soekarno, maka Belanda tak mendapat dana dari Washington,” kata penulis Takdir: Kehidupan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta (2014).
Sedangkan Diponegoro ditangkap Belanda melalui suatu permainan licik. Diponegoro ditangkap ketika menemui Jendral De Kock di Magelang kemudian diasingkan ke Makassar. Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kedua tokoh besar ini menurut Carey, memiliki kemampuan orasi yang mengesankan dan memiliki daya tarik mempesona bagi lawan jenis. Keduanya juga sama-sama mencintai alam.
Keduanya pernah memimpikan terwujudnya keadilan sosial bagi bangsanya serta mampu menciptakan persatuan dari pemahaman tentang perwujudan sinkretisme.
Lebih lanjut Carey memaparkan, Bung Karno dan Diponegoro merupakan pribadi yang blak-blakan. “Diponegoro menampar Patih Danurejo yang berpihak ke Belanda, Sedangkan Bung Karno pernah mengusulan pemindahan markas PBB dari New York ke Jenewa” ujar Carey.
Carey lahir di Rangoon, Myanmar, pada 30 April 1948 ini menyampaikan, kedua tokoh besar ini hidup di masa revolusi. Diponegoro hidup di masa kolonialisme Eropa saat revolusi industri di Prancis dan Inggris sedang berkembang. (Baca: Tongkat Pusaka Diponegoro Dikembalikan ke Tanah Air)
“Bung Karno hidup di masa Perang Dunia I dan II,” ujar sejarawan yang pernah di anugerahi gelar Sanghyang Kamahayanikan oleh Borobudur Writers and Cultural Festival (BWFC) tahun 2014 ini.
Upaya politik kedua tokoh ini sama-sama ditolak pihak lawan yang akibatnya sejarah keduanya dituliskan oleh pihak yang menang.
Pribadi Diponegoro, menurut Carey, seorang yang dikagumi Soekarno dan menginspirasi perjuangannya. Pada masa pendudukan Jepang antara 1942-1945, Bung Karno pernah meminta M. Yamin untuk membuat pamflet tentang perjuangan Diponegoro untuk mengobarkan semangat perjuangan bangsa Indonesia.
Menurut Dian Hadiyuwono dari keluarga Ndalem Pojok, Inspirasi sosok Diponegoro bagi Soekarno diperoleh melalui membaca buku tentang sang pangeran yang ditulis dengan tulisan aksara Jawa oleh keluarga Ndalem Pojok. Buku itu kini disimpan keluarga ndalem.
“Bung Karno sangat menyukai sejarah perjuangan dan tokoh-tokoh pejuang, salah satunya Pangeran Diponegoro,” kata Dian kepada Satu Islam
Ayah angkat Soekarno yang mengasuh saat usia 2-5 tahun adalah RMP Soemohatmodjo. Leluhur RMP Soemohatmodjo merupakan sisa-sisa laskar pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarga Ndalem Pojok, tempat masa kecil Bung Karno diasuh. Berdasarkan silsilah, RMP Soemohatmodjo keturunan dari patih ndalem Sinuwun Mangkunegaran ke IX. (Baca: Ndalem Pojok: Saksi Sejarah Masa Kecil Bung Karno)